Rock Photography
Helloween live at Java Rockin'land 2011
Rock Photography
The Brandals @Jakcloth 2012
Rock Photography
Koil at Kaskus Jelajah TKP
Rock Photography
Jono of Gugun Blues Shelter
Rock Photography
Koil at Kaskus Jelajah TKP
Sunday, 19 July 2009
Estetika dalam cover album The Beatles; Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band
Dalam industry musik, sampul album memiliki posisi tersendiri sebagai salah satu strategi promosi dan daya tarik. Namun dalam seni rupa khususnya desain, peran desain sampul album juga patut diapresiasi sebagai karya seni tersendiri. Seperti dalam sampul album The Beatles, SGT Pepper’s Lonely Heart Club Band, sampul album terlihat sangat mempertimbangkan estetika dengan matang.
Desain sampul album tersebut sangat menarik, tampak personil the Beatles dengan mengenakan kostum sirkus berfoto bersama tokoh-tokoh besar dunia yang sebagian telah meninggal. Diantaranya ada Marilyn Monroe (aktris), Karl Max (filosof, sosialis), Albert Einstein (ilmuwan), Edward Alan poe (penulis), Elvis (musisi rock n roll), Bob Dylan, Marlon Brando (actor), Lewis Carol (penulis), dan banyak lagi. Desain tersebut dibuat oleh Peter Blake yang juga seorang pelukis, desain dikerjakan selama 2 minggu. Sedangkan foto oleh Michael Cooper, semua konsep dibuat atas permintaan Paul McCartney sang gitaris The Beatles.
Album tersebut cukup sensasional mengingat The Beatles telah vakum selama 6 tahun, kemudian muncul dengan konsep album yang unik dan cover yang artistic. Hasilnya desain album tersebut mendapat banyak apresiasi dan penghargaan. Masuk ke urutan ke-16 anugerah Top Fifty Millennium Masterworks (50 Karya Seni Terbaik Abad Ini) versi harian Sunday Times. Sampul yang penuh warna-warni itu juga terpilih sebagai Best Album Cover (Sampul Depan Terbaik) versi Grammy Awards tahun 1967. Selain itu, Sgt Pepper’s juga terpilih di urutan ke-13 Best Arts and Design Masterpiece (Mahakarya Seni dan Desain Abad Ini) menurut survei yang dilakukan oleh stasiun televisi dan radio BBC.
Sampul album SGT Peppers milik The Beatles sangat sesuai dengan teori estetika dari Bernadetto Croce yang mengatakan bahwa seni merupakan kegiatan kejiwaan, berdasarkan intuisi, perasaan dan ekspresi. Apa yang terlihat dalam sampul album tersebut memperlihatkan bagaimana ekspresi yang digambarkan melalui hadirnya tokoh-tokoh imajiner yang berfoto bersama anggota The Beatles. Maka inilah sensasi yang timbul bagi audiens yang melihatnya, suatu pemandangan yang tak lazim dan menimbulkan kekacauan logika.
Paul McCartney dan Peter Blake yang mengusung konsep tersebut hanya ingin menggambarkan rombongan grup band yang sedang karnaval dan berkeliling dari satu kota ke kota lainnya layaknya rombongan sirkus. Namun tak disebutkan kenapa harus menyertakan tokoh-tokoh legenda yang malah sudah meninggal. Dalam hal ini saya berasumsi bahwa McCartney ingin menggambarkan sebuah band besar yang luar biasa, yaitu The Beatles yang suatu saat dapat menjadi legenda dan sejajar dengan tokoh-tokoh besar tersebut.
Croce juga mengungkapkan bahwa keindahan tergantung pada kegiatan imajinasi yaitu kemampuan seseorang untuk memahami dan mengalami hasil kegiatan intuisi dalam bentuknya yang murni. Paul McCartney yang memiliki konsep sampul album tersebut tentu memiliki kekuatan imajinasi yang kuat, serta hasil dari kegiatan intuisif yang melahirkan ide yang orisinil. Ide tersebut kemudian divisualisasikan oleh Peter Blake dalam desain sampul album.
Desain sampul album tersebut sangat menarik, tampak personil the Beatles dengan mengenakan kostum sirkus berfoto bersama tokoh-tokoh besar dunia yang sebagian telah meninggal. Diantaranya ada Marilyn Monroe (aktris), Karl Max (filosof, sosialis), Albert Einstein (ilmuwan), Edward Alan poe (penulis), Elvis (musisi rock n roll), Bob Dylan, Marlon Brando (actor), Lewis Carol (penulis), dan banyak lagi. Desain tersebut dibuat oleh Peter Blake yang juga seorang pelukis, desain dikerjakan selama 2 minggu. Sedangkan foto oleh Michael Cooper, semua konsep dibuat atas permintaan Paul McCartney sang gitaris The Beatles.
Album tersebut cukup sensasional mengingat The Beatles telah vakum selama 6 tahun, kemudian muncul dengan konsep album yang unik dan cover yang artistic. Hasilnya desain album tersebut mendapat banyak apresiasi dan penghargaan. Masuk ke urutan ke-16 anugerah Top Fifty Millennium Masterworks (50 Karya Seni Terbaik Abad Ini) versi harian Sunday Times. Sampul yang penuh warna-warni itu juga terpilih sebagai Best Album Cover (Sampul Depan Terbaik) versi Grammy Awards tahun 1967. Selain itu, Sgt Pepper’s juga terpilih di urutan ke-13 Best Arts and Design Masterpiece (Mahakarya Seni dan Desain Abad Ini) menurut survei yang dilakukan oleh stasiun televisi dan radio BBC.
Sampul album SGT Peppers milik The Beatles sangat sesuai dengan teori estetika dari Bernadetto Croce yang mengatakan bahwa seni merupakan kegiatan kejiwaan, berdasarkan intuisi, perasaan dan ekspresi. Apa yang terlihat dalam sampul album tersebut memperlihatkan bagaimana ekspresi yang digambarkan melalui hadirnya tokoh-tokoh imajiner yang berfoto bersama anggota The Beatles. Maka inilah sensasi yang timbul bagi audiens yang melihatnya, suatu pemandangan yang tak lazim dan menimbulkan kekacauan logika.
Paul McCartney dan Peter Blake yang mengusung konsep tersebut hanya ingin menggambarkan rombongan grup band yang sedang karnaval dan berkeliling dari satu kota ke kota lainnya layaknya rombongan sirkus. Namun tak disebutkan kenapa harus menyertakan tokoh-tokoh legenda yang malah sudah meninggal. Dalam hal ini saya berasumsi bahwa McCartney ingin menggambarkan sebuah band besar yang luar biasa, yaitu The Beatles yang suatu saat dapat menjadi legenda dan sejajar dengan tokoh-tokoh besar tersebut.
Croce juga mengungkapkan bahwa keindahan tergantung pada kegiatan imajinasi yaitu kemampuan seseorang untuk memahami dan mengalami hasil kegiatan intuisi dalam bentuknya yang murni. Paul McCartney yang memiliki konsep sampul album tersebut tentu memiliki kekuatan imajinasi yang kuat, serta hasil dari kegiatan intuisif yang melahirkan ide yang orisinil. Ide tersebut kemudian divisualisasikan oleh Peter Blake dalam desain sampul album.
Adaptasi Budaya : Rock - Dangdut Rhoma Irama
Budaya dalam suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya dan cenderung untuk terus berubah. Perubahan budaya tersebut dapat terjadi karena faktor-faktor tertentu, seperti kondisi sosio-ekonomi, pendidikan, perpindahan penduduk, teknologi dan sebagainya. Perubahan budaya juga dapat terjadi karena tekanan dan intervensi dari luar (budaya asing) yang kemudian secara perlahan budaya tersebut di ambil. Selain itu kebutuhan masyarakat akan pendidikan juga memaksa mereka untuk mempelajari budaya asing, seperti bahasa inggris yang merupakan bahasa internasional, mereka pada akhirnya bukan hanya mempelajari bahasanya saja melainkan juga budaya keseharian masyarakat barat. Kesadaran masyarakat untuk mempelajari kebudayaan tertentu itu membawa pengaruh besar dalam perubahan budaya di Indonesia
Musik rock yang berasal dari belahan barat telah terlanjur menjadi satu bagian dari budaya Indonesia, namun tetap ada upaya mengembalikan budaya Indonesia ke asalnya yang kerap dilakukan oleh sejumlah musisi local. Dengan memainkan music local namun tetap dapat diterima masyarakat yang telah terbiasa mendengar lagu-lagu asing. Yaitu dengan mencampurkan music barat dengan music Indonesia, seperti mencampurkan rock dengan dangdut, seperti ayng dilakukan Rhoma Irama.
Musik rock yang dipadukan dengan dangdut dipelopori oleh Rhoma Irama bersama grup bandnya yang bernama Soneta pada dekade 1970an. Rhoma mengadaptasi music dari band luar bernama Deep Purple.Karena pada era tersebut Deep Purple sedang sangat digandrungi oleh oleh penggemar rock di Dunia termasuk Indonesia, tak terkecuali Rhoma Irama yang gaya permainan gitarnya banyak terpengaruh gaya Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple. Melalui music rock-dangdut yang diusungnya Rhoma juga mengutamakan nilai-nilai moral didalam lirik lagi-lagunya, untuk mengajak para pemuda kembali ke jalan yang lurus. Hal tersebut dapat menggambarkan bagaimana music rock dapat diapresiasi dan diadaptasi dengan music local seperti dangdut, namun dengan sarat-sarat muatan moral sesuai denan budaya local.
Musik rock yang berasal dari belahan barat telah terlanjur menjadi satu bagian dari budaya Indonesia, namun tetap ada upaya mengembalikan budaya Indonesia ke asalnya yang kerap dilakukan oleh sejumlah musisi local. Dengan memainkan music local namun tetap dapat diterima masyarakat yang telah terbiasa mendengar lagu-lagu asing. Yaitu dengan mencampurkan music barat dengan music Indonesia, seperti mencampurkan rock dengan dangdut, seperti ayng dilakukan Rhoma Irama.
Musik rock yang dipadukan dengan dangdut dipelopori oleh Rhoma Irama bersama grup bandnya yang bernama Soneta pada dekade 1970an. Rhoma mengadaptasi music dari band luar bernama Deep Purple.Karena pada era tersebut Deep Purple sedang sangat digandrungi oleh oleh penggemar rock di Dunia termasuk Indonesia, tak terkecuali Rhoma Irama yang gaya permainan gitarnya banyak terpengaruh gaya Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple. Melalui music rock-dangdut yang diusungnya Rhoma juga mengutamakan nilai-nilai moral didalam lirik lagi-lagunya, untuk mengajak para pemuda kembali ke jalan yang lurus. Hal tersebut dapat menggambarkan bagaimana music rock dapat diapresiasi dan diadaptasi dengan music local seperti dangdut, namun dengan sarat-sarat muatan moral sesuai denan budaya local.